Pukul tujuh tiga puluh pagi, Jihad sudah berada di pelataran kantor DPRD Kota Madu. Tujuannya tidak lain, mencari sejak awal para anggota wakil rakyat yang bisa dijadikan narasumber. Namun hingga pukul delapan tiga puluh menit, Jihad belum satupun menjumpai wakil rakyat yang turun untuk bekerja.
Sementara beberapa nomor anggota wakil rakyat lain yang ada di handphone Jihad, telah dihubungi satu persatu. Senada, mereka mengatakan baru akan masuk kantor sekitar pukul sepuluh nanti. Karena bosan menunggu, Jihad memutuskan ke kantin DPRD. Sekalian untuk ngopi dan mengisi perut yang belum sempat terisi saat berangkat dari kos-kosan.
Tiba di kantin, Jihad mendapati sudah ada beberapa pegawai Sekretariat DPRD, ada juga beberapa diantara mereka adalah para kontraktor. Wajah-wajah mereka sudah tidak asing bagi Jihad. Mereka biasa ditemukan di kantor Dinas Pekerjaan Umum, dengan segala macam kesibukan dan urusan. Karenanya, saat masuk, sekenanya, Jihad melemparkan senyuman kepada orang-orang proyek tersebut.
Usai sarapan dan ngopi, telingga Jihad yang peka, menyerobot riak-riak yang sedang diperbincangkan para orang-orang proyek. Obrolannya mudah ditebak oleh Jihad. Masalah proyek. Menariknya, Jihad seakan menemukan jalan masuk dari apa yang sedang dicarinya. Orang-orang tersebut sedang membicarakan pokok-pokok pikiran dewan.
Salah seorang dari orang-orang proyek itu, tepat berada di bagian sudut kanan meja bercelutuk, pengesahan APBD Kota Madu masih sangat alot. Katannya, antara unsur Pimpinan, Fraksi, hingga Komisi, masih tarik ulur soal angka-angka yang diterima setiap fraksi, serta para anggota wakil rakyat.
Naluri jurnalistik, Jihad, mendadak bergeliat. Jarak Jihad dengan orang-orang tersebut hanya sekitar lima meter. Semaksinal mungkin telinganya dipasang baik-baik. Apalagi pembicaraan orang-orang proyek tersebut semakin serius. Sudah sampai ke arah pembagian anggaran di unsur pimpinan dewan.
Menurut pria berbadan gempal dengan baju kotak-kotak, keterlambatan pengesahan APBD dikarenakan adanya ketidak sepahaman antaran unsur pimpinan. Apalagi, Partai Kuning selaku ketua dewan, hanya berselisih suara dari Partai Biru. Jumlah wakil rakyat di kedua partai tersebut sama-sama delapan orang. Saat pemilihan legislatif sebelumnya, Partai Biru hanya selisih sekitar seribu suara. Dengan demikian, kursi pimpinan atau ketua DPRD yang sebelumnya di tempati Partai Biru terpaksa harus direlakan ke Partai Kuning.
Lelaki berbadan ceking, yang duduk di kursi ketiga, tak kalah sengitnya menyapaikan informasi. Menurut lelaki berkulit sawo matang itu, pengesahan anggaran semakin alot, karena Wakil Ketua II Dewan dari Partai Hijau, adalah istri dari Walikota Kota Madu, ikut ambil bagian dalam masalah itu.
Partai Hijau menurut lelaki ceking itu, juga menginginkan anggaran yang besar untuk mengakomodir pokok-pokok pikiran yang diusulkan konstituen –para pemilih Partai Hijau. Karenanya, kemungkinan APBD baru dapat diketok akhir Desember. Itupun kemungkinan hanya sekedar formalitas, apabila kesepakatan terkait besaran pokok-pokok pikiran dewan, masih terdapat selisih.
Mendadak kehusukan Jihad buyar. Handphone yang ada di depannya berdering. Mendengar nada handphone, mata orang-orang di kantin itu sejenak mengarah ke arah tempat Jihad duduk. Dengan ketergesa-gesaan, Jihad meraih handphone. Di layar handphone tertera nama yang tidak asing. Dengan cakatan lalu Jihad menerima panggilan tersebut.
“Iya, Kang,” kata Jihad masih penuh keterburu-buruan.
“Kamu lagi dimana, Dek?,” tanya pria dalam handphone.
“Saya lagi di kantin DPRD, Kang. Kenapa?, Kang, ada yang harus saya liput kah!,” tanya Jihad.
“Aku mau minta tolong. Kamu segera ke warung Sinta Raya. Di sana ada pak Trisno. Kamu tolong ambilkan berkas kantor sama dia. Sekalian kamu bisa minta nomornya pak Kandar, dia mungkin bisa kamu jadikan narasumber untuk liputanmu,” katanya.
“Oke, Kang. Saya segera ke sana,” kata Jihad lalu menutup telepon. Lelaki yang barusan mengobrol dengan Jihad adalah Kang Mamat.
***
Angin malam yang berhembus begitu terasa malam itu. Roman-romannya akan turun huran. Sekujur langit terlihat mendung. Bahkan di sisi barat Kota Madu, sepertinya telah diguyur hujan. Itu terlihat dari pekatnya awan yang menutupi malam.
Jihad yang sedari tadi nongkrong di warung kopi Mbok Sinah, juga masih belum beranjak. Seduhan kopi khas tanggan tua yang mulai lekat oleh jaman, mungkin jadi alasan Jihad berlama-lamaan di situ. Ditambah obrolan dan candaan hangat Mbok Sinah membuat alumnus Kampus Biru Makassar ini betah mengulur waktu di warung beratapkan terpal biru, yang sebagian diantaranya telah mulai berlubang, karena harus berjuang dengan angin malam yang semakin kencang berhembus.
Rasanya, Jihad masih ingin berlama-lamaan. Namun pukul delapan tiga puluh nanti, dirinya telah berjanji untuk bertemu dengan pak Kandar. Saat menghubungi lelaki paruh baya tersebut siang tadi, Jihad diminta ke rumahnya di Jalan Angkringan, jika ingin bertemu, atau bercerita, juga sekaligus wawancara.
Beranjak dari tempat duduk, Jihad menarik uang dua puluh ribu di saku kanan. “Mbok, sisannya simpan aja. Sekalian buat saya ngopi besok,” kata Jihad beranjak keluar dari warung. Mbok Sinah menjawabnya dengan anggukan kepala, sebagai tanda dia mengiyakan.
Tiba di rumah pak Kandar, Jihad langsung dipersilahkan duduk di ruang tamu. Sementara pak Kandar terlihat masih sibuk mencoret sejumlah berkas. Ada yang tebal. Ada juga yang tipis. Beberapa diantaranya dibubuhi tanda tangan.
“Ndut, tolong sediakan kopi dua!. Bawakan ke ruang tamu,” suara pak Kandar meminta pembantunya menyediakan kopi.
“Ngak usah repot-repot pak,” sambar Jihad, karena merasa sungkan dan tidak ingin merepotkan tuan rumah.
“Ahhhh, ngak apa-apa, barang hanya kopi aja kok repot,” ujar pak Kandar lembut. Perlahan tapi pasti, pak Kandar berjalan ke arah Jihad dan langsung duduk di kursi.
“Gimana kabar nih, Adinda??,” sapa pak Kandar melanjutkan.
“Alhamdulillah, baik pak,” ucap Jihad sembari melemparkan senyuman.
Sejenak keduannya terdiam. Bagi Jihad, pak Kandar bukanlah orang asing, layaknya para wakil rakyat lain di legislatif Kota Madu. Sebelumnya, Jihad pernah bekerja kepada pak Kandar, meskipun tidak secara langsung sekitar dua tahun lalu di sebuah lembaga sosial kemasyarakatan.
“Apa yang perlu diberitakan nih?,” tanya pak Kandar yang sudah bisa menerka tujuan kedatangan Jihad.
Yang ditanya nyegir-nyegir. Karena merasa tanpa dia menjelaskan, tuan rumah sudah memahami maksudnya, meskipun pokok pembicaraan masih ada dalam kepala Jihad.
“Bapak kan sebagai anggota DPRD dan juga anggota Badan Anggaran. Nah, tujuan kedatangan saya kali ini, saya ingin berbincang-bincang soal pokok-pokok anggaran dewan,” tutur Jihad.
“Wahhh, sepertinya serius nih yang akan dibicarakan,” sambut pak Kandar. Keduannya kemudian sejenak sama-sama tertawa, walaupun Jihad sedikit memaksakan tawanya dan senyum pahit serta tawar di bibir.
Setelah itu, Jihad menjelaskan tujuannya. Dengan bahasa yang apik, bahkan berapi-api, namun tetap berwibawa. Jihad menyampaikan semua isi kepalanya yang telah disusun rapi. Termaksud informasi yang di dengar dari orang-orang proyek pagi tadi di kantin DPRD.
Pak Kandar terlihat kagum manakala mendengarkan penjelasan dan maksud pembicaraan Jihad. Sebagai lulusan jurusan Sastra, Jihad memang tidak perlu diragukan dalam beretorika, atau menyampaikan maksud pembicaraan. Apalagi, ketika masih bergelut di bangku universitas, Jihad dikenal sebagai seorang aktivis yang getol menyuaran suara masyarakat kecil. Mentalnya menghadapi orang gedongan, atau pejabat dan sebagainya, sudah bukan menjadi sesuatu yang baru baginya.
“Ohhh gitu tujuan, Adinda, datang ke sini,” ucap pak Kandar.
Jihad hanya menganggukan kepala sebagai pertanya dirinya mengiyakan pertanyaan tuan rumah.
“Bagaimana ya, sebenarnya saya ngak bisa mengungkapkan atau membeberkan masalah itu. Karena sifatnya internal legislatif. Kalau membuka itu, sama halnya dengan saya membuka aib saya sendiri, serta teman-teman yang lainnya di legislatif,” tutur pak Kandar.
Badan pak Kandar yang dari tadi tegang, kemudian merunduk ke belakang, bersandar di kursi. Melihat itu, senyum Jihad terasa pahit. Sepahit pemikirannya yang mulai pupus, karena mendengarkan jawaban demikian dari pak Kandar.
Suasana yang kaku, kemudian sedikit mencair setelah keduanya sama-sama menengak kopi yang telah tersedia di meja.
“Gini aja, aku mau berbagi informasi, tapi ya cukup untuk kamu konsumsi sendiri. Jikapun nantinya kamu jadikan berita, namaku, ya ngak usah ditulis,” tawar politisi yang kini berkecimpung di Partai Biru tersebut.
Ketika obrolan kedua lelaki ini dimulai, jarum jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Kepada Jihad, pak Kandar bercerita tentang kemelut, tarik menarik kepentingan antara tiga partai yang duduk diunsur pimpinan dewan.
Dalam obrolan itu, terungkap satu fakta yang cukup mencengangkan bagi Jihad. Bahwa keterlambatan pengesahan APBD Kota Madu, seperti yang disangkakan dirinya, memang dikarenakan Partai Biru, tidak terima lantaran anggaran yang jadi pokok-pokok pikiran fraksi, hanya kebagian sekitar sepuluh miliar, dari yang diusulkan dan kesepakatan awal sekitar lima puluh miliar.
Sementara Partai Kuning, selaku ketua DPRD, yang juga mendapatkan dukungan dari Wakil Walikota selaku kader Partai Kuning, mendapatkan pokok-pokok pikiran hingga seratus lebih miliar. Itu di luar pokok-pokok pikiran yang didapatkan ketua fraksi, ketua komisi, dan anggota legislatif dari Partai Kuning.
Sementara Partai Hijau, menurut informasi diperoleh pak Kandar dari anggota Badan Anggaran –penyusunan anggaran banyak disembunyikan-, kebagian lima puluh miliar. Padahal dari struktur unsur pimpinan, Partai Hijau adalah Wakil Ketua II. Menurut pergunjingan yang tersiar, besarnya pokok-pokok pikiran yang diterima Partai Hijau, tak lepas dari sokongan dan dukungan orang nomor satu di Kota Madu.
Sementara besarnya anggaran Partai Kuning, sebagai komitmen politik yang telah diteken sebelum Pilkada Kota Madu digelar setahun lalu. Yang membuat Jihad terheran-heran, karena anggaran yang diterima Partai Kuning, itu di luar anggaran yang diterima oleh Wakil Walikota –ada anggaran yang dititipkan lewat legislatif.
“Anggaran itu, nanti akan dibagi-bagi ke beberapa Dinas dan Badan. Biasanya dipilah menjadi paketan proyek PL (pemilihan langsung), dengan nilai dua ratus juta,” ungkap pak Kandar.
Wajah Jihad terlihat seakan tak percaya. Namun dia menyimak setiap pembicaraan pak Kandar dengan baik, sambil menggelengkan kepala. Tak lupa, sebagai data berita, diam-diam Jihad telah mengaktifkan rekaman di ponselnya.
“Sudah kayak anggaran milik pribadi saja ya, pak, kok sampai dibagi-bagi seperti itu. Luar biasa juga ternyata tarik menarik kepentingan di legislatif,” tutur Jihad dengan nada terheran-heran.
Lantaran sudah larut malam, dan jarum jam menunjukan pukul tiga malam, obrolan Jihad dan pak Kandar malam itu berakhir dengan wajah Jihad yang penuh keterheranan. Namun sebelum Jihad pamit pulang, pak Kandar mengajaknya untuk melanjutkan perbincangan di lain waktu. Dengan anggukan, Jihad mengiyakan. Dalam hati, Jihad sudah inggin menyodorkan keingginan tersebut. Namun terlebih dahulu keluar dari pak Kandar.
Dalam perjalan kembali ke kos-kosan, Jihad menyimpa sejuta keterheranan. Bisik-bisik dari kebanyakan pejabat selama ini, ternyata bukan hanya isapan jempol. Dalam hati, Jihad mengerutuk. “Ya, namanya saja politik. Penuh kepentingan dan intrik. Ibarat belut, semakin dipegang, ya semakin licin,”.