Air Mata

Hari ini mungkin adalah hari terberat dalam lika liku hidup yang sudahku jalani selama ini. Karena di waktu ini, tetesan air matanya kembali menjadi tamparan hebat bagi perjuanganku membahagiakannya.

Jika sebelumnya, diri ini telah berjanji untuk tidak lagi membuatnya menjatuhkan setetes pun air mata dari mata indahnya. Namun, tekadku itu rupanya hanya sebatas pepesan kosong yang tidak mampu untuk aku wujudkan menjadi sebuah kenyataan.

Dikala melihat itu, rasa bersalah dan penyesalan yang teramat dalam kini berkecamuk hebat dalam sanubari. Rasanya bagaikan jasa dikuliti hidup-hidup, pun sepertinya belum mampu mengejawantahkan penyesalan itu.

Melihat air matanya kian menetes deras dari kelopak mata sucinya, kian mencabik-cabik rasa bersalah ini.

Karena baru kali ini kulihat jelas rasa kekecewaan yang besar dalam hidupnya atas sikap yang tak sengaja kulakukan untuknya.

Semua kepercayaan yang pernah dititipkannya kepadaku, ternyata tak mampu aku amanatkan dengan sebuah kejujuran. Namun justru kepercayaannya itu malah kubuahi dengan kebohongan dan ketidak jujuran untuknya.

Semua ilmu, perhatian, pengertian, ketulusan, keikhlasan, dan kebaikannya, entah apa yang kini bisa aku gunakan untuk membalasnya. Jangankan membalas, menjaganya dan menghargainya saja aku sunguh sangatlah tidak becus.

Andai waktu dapat aku ulang kembali, maka ingin rasanya kesalahan ini akan aku cabik-cabik dengan tangan ini sendiri dengan pisau kehidupan yang akan aku bawa sampai mati nantinya. Dan hingga akhirnya tidak akan menyisakan butiran debu penyesalan apa pun dalam sanubarinya yang murni.

Meski aku ketahui, bahwa hal itu sunguh mustahil untuk aku lakukan. Kata maaf mungkin sudah sering kali aku sampaikan, sehingga tak pantas lagi aku ucapkan.

Tapi apa daya, diri yang penuh dusta ini hanyalah raga adam yang dilahirkan dari setetes air mani yang penuh hina.

Mendengar kata-kata penyelasan dari bibir kejujurannya, kian menikan batin ini. Sebab, apa yang terlontar dalam nada penyesalannya adalah titah kehidupan yang tak pernah ternoda oleh kepalsuan.

Sehingga, sebait kata yang terucap dalam penyesalannya sunguh itu adalah api yang tiada akan mampu aku padamkan dalam hidupku ini.

Meski, duri maaf, belati penyesalan, api derita, dan nerakanya dunia menari-nari di atas jiwa dan raga ini, kuyakin tak akan mampu menghapus sebijih jarah pun air mata penyesalan yang jatuh dari kelopak matanya.

Seraya hati berkata, tuhan salah dan dosa apa yang dia lakukan, hingga engkau tega menjadikan hamba ini sebagai duri kehidupan dan rintangan atas amalan bagi hidupnya yang tak berdosa itu.

Jika memang hambamu ini adalah duri kehidupan baginya, maka ijinkanlah nyawa ini tercabut dari raga ini.

Jika diri ini memang adalah hambatan atas segala amalan dilakukan dirinya, maka cabutlah satu-satu setiap bagian tubuh ini.

Dan jika pun keberadaan hambamu ini hanya bisa menjadi luka, penyesalan, dan duka baginya, maka angkatlah segala nikmat yang engkau berikan kepada hambamu selama ini.

Namun, jika ada sedikit saja kesempatan yang engkau berikan kepada hambamu untuk bisa menjadikan semua luka, penyesalan, dan amarah yang dia miliki, maka hambamu ini dengan segala kerendahan hati dan penuh ampun bersujud memohon munajatmu.

Sebab, aku tau bahwa tanpa izinmu tak ada satu pun mahluk ciptaanmu yang dapat berkehendak dan berbuat apa pun. Karenanya, tunduk dan pasrah disisi nikmatmu adalah jalan terbaik, untuk membatinkan dosa dan segala salah yang membuatnya meneteskan air mata.

Diwaktu yang penuh dengan penyesalahan ini, diri ini hanya bisa berharap kepadamu ya Tuhan, tolong berikanlah bintang hatimu itu kebaikan, keimanan, dan kedudukan yang terbaik di sisimu selama hidup yang dia jalani.

Dalam bait kata, kalimat, dan catatan yang kutulis ini, terpancar jelas bahwa “Lukanya adalah deritaku, air matanya adalah kematian untukku. Dan penyesalahannya adalah pintu nerakaku,”.

–Sebuah Renungan Diri–

Kelakar Politik (3)

KelakarPagi ini Jihad terlambat bangun pagi. Bahkan solat subuh tak sempat dia laksanakan. Efek begadang dengan pak Kandar semalam. Dua panggilan telpon dari Kang Mamat juga luput.

Dengan mata yang masih berat, Jihad bergegas bangun untuk mandi. Pakain yang kusut karena lupa disatrika yang tergantung di dinding tak dipedulikan. Baju dipakain seadanya. Kemudian Jihad meluncur menuju gedung biru – sebutan kantor SaKa Post, tempat Jihad bekerja.

Setiba di kantor, Jihad telah ditunggu Kang Mamat. Sebelumnya, lewat pesan singkat, Kang Mamat meminta supaya Jihad segera merapat ke kantor.

“Dari mana saja, aku sudah menunggu dari tadi?,” sambut Kang Mamat, ketika wajah Jihad nonggol di depan pintu redaksi.

“Maaf, Kang, saya terlambat bangun pagi, karena semalam saya lambat tidur,” jawab Jihad dengan tertawa kecilnya.

“Gimana liputanmu?. Kamu jadi ketemu pak Kandar?,” tanya Kang Mamat.

“Iya, jadi. Semalam saya ngobrol panjang sama dia,”.

“Terus apa hasilnya, ada informasi baguskah. Terus dia mau dipublikasikan informasinya,” tanya Kang Mamat memberondong ke Jihad seakan tanpa ada sela.

Sejenak, Jihad, tidak langsung memberikan jawaban. Dalam duduknya, Jihad berpikir. Setengah ragu, dia menyampaikan kembali yang diutarakan pak Kandar semalam.

“Pak Kandar bersedia saja ngomong. Cuman dia minta tidak dipublikasikan. Takut membuat kegaduhan, katanya,” tambah Jihad memberikan penjelasan kepada Kang Mamat.

Kang Mamat yang merasa tertarik dengan informasi yang disampaikan Jihad, mengacungkan jempol. Maklum, meski baru bergabung di media sekitar tujuh bulan lalu, perkembangan Jihad terbilang cukup pesat jika dibandingkan seangkatannya. Apalagi Jihad selalu mampu menyajikan informasi-informasi yang bagus dan jarang disorot jurnalis lainnya.

Kang Mamat memberikan saran supaya Jihad memperdalam lagi informasinya. Salah satunya, yakni mencari data di dinas terkait, dalam hal ini di DPU. Atau Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), selaku instansi yang menyusun skema program pembangunan pemerintah.

***

Seperti rutinitas biasannya, bersama rekan-rekan Jurnalis lain, jika sudah siang hari, Jihad hanya menghabiskan waktu duduk di kantin Mak Ragu yang terletak di bagian belakang kantor Walikota Madu. Di tempat inilah, Jihad bersama para jurnalis lain menyeduh kopi sambil mendiskusikan tema-tema pembangunan, anggaran, dan kebijakan pemerintah.

Namun siang itu, Jihad memilih untuk tidak berlama-lamaan di tempat berdinding beton dengan corak hijau tua tersebut. Jihad sudah memiliki janji bertemu seorang pejabat DPU Kota Madu. Jihad hendak menyelidiki lebih lanjut informasi terkait pokok-pokok pikiran dewan di tahun sebelumnya.

Jihad berkeyakinan bisa mendapatkan informasi bagus dari pejabat ini. Keyakinan Jihad tentunya sangat beralasan. Pejabat tersebut banyak terlibat lansung membantu mengurus proyek wakil rakyat yang bersumber dari pokok-pokok pikiran dewan. Termasuk anggaran ketua dewan dan beberapa anggota dewan lainnya, baik dari Partai Kuning, Partai Merah Jambu, Biru Tua, dan beberapa partai politik lainnya.

“Selamat siang, bosku,” ucap Jihad penuh keakraban, disusul senyum klimis.

“Hei Jihad. Lama ngak ketemu. Gimana kabar nih?,” sapa pria berbadan tambun tersebut ketika Jidah berjalan masuk.

“Baik, Bos,” ucap Jihad cepat menjawab pertanyaan.

Pria berbadan tambun dan berambut gelombang tersebut, kemudian mempersilahkan Jihad duduk di kursi.

“Apa nih yang bisa saya bantu,” tanyanya.

“Biasa bos, gali-gali informasi proyek pembangunan,”.

“Proyek apa lagi, perasaan kemarin sudah aku kasih data-data proyek yang sudah dibangun tahun ini,” katannya sembari melempar tawa. Karena duduk berhadapan, terlihat jelas kedua gigi atas lelaki tambun tersebut yang mulai keropos. Pertanda usianya yang kini tidak lagi muda.

“Hehehe, kali ini beda bosku. Ini lebih spesifik, terkait data proyek yang bersumber dari pokok-pokok pikiran dewan,” tutur Jihad lugas, tak ingin basa basi dengan tujuannya.

Sesaat, lelaki berbadan tambun tersebut terdiam. Diam. Sunyi. Hanya detak jarum jam yang berganti yang terdengar. Kicauan burung gereja yang bermain di pohon Ketapang yang bersebelahan dengan ruangan, mencicir berirama.

“Saya hanya minta data dan sedikit keterangan saja bos. Itu jika memang bos berkenan. Saya paham, urusan seperti ini sedikit riskan,” sambung Jihad, mencoba menyeka suasana yang sedikit kaku dan formal.

Lelaki berbadan tambun tersebut hanya diam. Wajahnya serius. Terlihat dari bola matanya yang hanya tertuju pada saru arah. Sepertinya sedang mempertimbangkan, apakah akan memberikan data dan informasi yang diminta Jihad.

“Oke, aku mau kasih datanya. Tapi kamu harus merahasiakan dari mana sumbernya. Begitu juga dengan keterangan yang aku sampaikan. Aku kira kalian dari jurnalis lebih pahamlah carannya,” katanya sembari memperbaiki duduknya yang sedikit selonjoran.

Di balik laci mejanya, lelaki tersebut mencari-cari data yang diminta Jihad. Tak berapa lama, sebuah berkas tebal sudah berada di atas meja, dan berhadapan langsung dengan mata Jihad.

Satu persatu proyek-proyek yang bersumber dari pokok-pokok pikiran dewan ditunjukan lelaki tambun ini. Dengan cekatan, Jihad memoter data tersebut. Sebagian di antaranya dia catat dalam buku kecilnya. Hampir satu jam lamanya Jihad mencatat data-data proyek yang tersaji di hadapannya.

Dari sini, Jihad mendapatkan banyak informasi. Menurut lelaki tambun itu, kebanyakan proyek yang berasal dari pokok pikiran dewan, dibagi-bagi ke dalam proyek PL. Tujuannya, supaya memudahkan pelaksanaan. Kebanyakan proyek PL ditujukan untuk perbaikan gang, baik untuk penimbunan, dan pengecoran. Maupun pembangunan gapura dan beberapa proyek serupa lainnya.

Yang membuat Jihad menggelengkan kepala, ternyata nilai proyek PL ini bahkan mencapai miliaran rupiah. Bahkan ada yang hingga tujuh puluh hingga delapan puluh miliar. Itu baru yang bersumber dari ketua dewan, belum wakil ketua, para ketua fraksi, ketua komisi, dan anggota wakil rakyat lainnya.

Jika harus ditotal-total, nilainya bahkan hampir mencapai tiga ratus miliar. Artinya, tiga puluh persen dari APBD Kota Madu sebesar satu koma tiga trilun, adalah jatah para wakil rakyat.

Itu belum termasuk lagi proyek-proyek yang harus melalui tender, atau lelang. Dari data yang ditunjukan lelaki tambun itu, banyak juga di antara proyek yang ditender, yang dikerjakan oleh kontraktor yang memang sengaja disiapkan para wakil rakyat.

“Gila!!!. Ini benaran bos, proyek-proyek ini adalah pokok pikiran dewan dan dikerjakan oleh para wakil rakyat??. Berarti para wakil rakyat, sama halnya dengan orang-orang proyek. Cuman mereka terlegitimasi atas nama lembaga wakil rakyat. Tertutup topeng wakil rakyat. Tidakkah ini sebuah lelucon. Atau memang ini yang disebut-sebit sebagai kelakar politik,” kata Jihad.

“Artinya, kata pokok pikiran dewan, sama halnya pokok-pokok proyek wakil rakyat. Berarti wajar saja jika kebijakan dewan, sukar ditentukan sebelum ada deal proyek. Kalau seperti ini, kesannya seperti guyonan, kelakar, tapi benar adanya bahwa legislatif itu adalah tempat disepakatinya proyek anggaran,” tutur Jihad. Wajahnya penuh terheran-heran. Perutnya seakan kayak digelitik. Ingin tertawa, namun segan, karena yang akan ditertawakan adalah kenyataan yang terbungkus rapi dan berjubakan nama wakil rakyat. (bersambung).

Suara Outlet

IlustrasiSiang ini, terik matahari begitu sangat terasa. Ditambah seliuran debu yang berhembus sepanjang jalan membuat kota Gerbang Desa Madu seakan penuh sesak. Kebisingan kendaraan yang hilir mudik juga membuat siapa saja terasa kikuk untuk beraktifitas langsung di bawah mentari. Terlebih saya yang tengah berteduh, juga merasa engan untuk beranjak.

Sesaat kemudian, di dalam kantong celana terasa ada getaran yang kuat, “Gerrrr….. Gerrr…..Gerrr,”. Ya, itu adalah getaran pertanda ada short message servis (SMS) yang berasal dari ponsel saya. Roman-romannya, ini adalah pesan dari seorang manajer perusahaan yang sebelumnya telah meminta saya untuk meliput kegiatan perusahaannya.

Karenanya, rasa engan beranjak sedari tadi, mau tidak mau harus saya tepis. Di bawah rindangnya dedaunan pohon Ketapang, saya kemudian bergegas naik motor dan mengebernya menuju lokasi acara. Padatnya kendaraan yang berlalu lalang sepanjang Jalan Yos Sudarso, ditambah gumpalan debu yang berhamburan, tidak sedikitpun saya hiraukan. Motor saya geber hingga kecepatan 60 Km, berliuk-liuk di tengah ruang-ruang jalan dan kendaraan yang terbuka.

Beberapa saat setelah memacu kendaraan, tiba-tiba terlintas dalam pikiran, jika sebelum mengeber motor, saya lupa membawa koran. Ya, koran tersebut rencananya akan saya tunjukan sebagai bagian dari promo koran tempat saya sekarang bernaung, Radar Kutim. Tapi, sepekan yang lalu, koran yang mengusung tema lokal konten ini telah berganti nama menjadi Sangatta Post. Untuk alasannya, entahlah. Saya kira biar kantor yang menjelaskannya. Hehehe.

Kecepatan kendaraan kemudian perlahan saya perlambat. Lalu melirik ke kiri dan ke kanan jalan. Mencari rumah-rumah outlet koran, saya hendak mencari koran Sangatta Post. Karena saya engan memutar kembali motor mengambil koran yang tertinggal sebelumnya. Beberapa saat kemudian, saya mendapati outlet koran. Di bangunan berdinding kayu dan beratap seng itu, terpajang deretan kaset-kaset lawas. Di sisi kanan bangunan, terpajang enam eksamplar koran Kaltim Post dan lima eksamplar koran lainnya. Sementara Sangatta Post, terselip diantara kedua koran tersebut.

Jika tidak jeli melihatnya. Ya, kemungkinan dua rentek koran berlabel koran bacaan inspirasi dan terdepan ini tidak terjamak oleh mata.

“Cari apa mas, koran atau kaset?,” suara parau di balik rak-rak kaset yang tertata lurus dan mulai kusam, karena digelumuri debu jalanan.

Sontak mata saya yang terjerembab sejak tadi karena menelusuri setiap kolom-kolom koran bergelantungan, mendadak kembali tersadar dengan suara tersebut.

“Iya, Kang, saya lagi nyari koran Sangatta Post,” sambutku menjawab tanya pria berbadan ceking dengan wajah yang seakan mulai lapuk oleh kibasan debu jalanan.

“Berapa harga Sangatta Post ini, Kang??,” tanyaku.

“Kalau yang itu Rp 5 ribu, sama harganya dengan Kaltim Post. Tapi kalau koran yang satu itu cuman Rp 3 ribu aja, Mas,” terang pria paruh barah tersebut.

Pada dasarnya saya menyadari, mengetahui, dan paham dengan perbedaan harga ketiga koran tersebut. Tapi entah kenapa, saya tergelitik saja ingin tau harga koran-koran tersebut langsung dari outletnya. Apalagi, mungkin, sang outlet tidak mengetahui atau menyadari bahwa yang sedang mengobrol dengannya adalah wartawan yang sehari-hari mengisi pemberitaan Sangatta Post. Terlebih lagi tulisan Sangatta Post yang melekat di baju  kerja yang sedang saya kenakan, berada di bagian punggung dan tertutup tas ransel.

Dari percakapan ini, rasa penasaran, bisa dibilang naluri dan rasa keingin tahuan saya sebagai seorang jurnalis mendadak bergelayut, bahkan bergeliat aktif di kepala. Saya ingin tau tentang sudut pandang sang outlet terhadap ketiga koran yang sedang ada dihadapan kami berdua, di siang yang begitu terik saat itu. Yang kalau burung, atau serangga jika melintas di bawah teriknya di siang itu, bisa jadi akan langsung jadi hewan panggang –sebagai akibat panasnya saat itu.

“Kang, dari tiga koran ini, mana yang paling banyak dicari orang (Pembaca),” tanyaku menyelidik.

“Kebanyakan sih, ya Kaltim Post, setelah Sangatta Post, atau juga sering koran yang satu ini,” jawabnya.

“Kok bisa gitu, Kang?”.

“Ya, begitu memang, Mas. Katanya kalau Kaltim Post, itu banyak beritanya, tebal halamannya, bagus juga kualitas cetaknya,”. Terdiam sejenak karena terbatuk. “Ya, kurang lebih kayak koran yang satu itu,” sambungnya.

“Terus, kalau Sangatta Post, gimana, Kang,” tanyaku lagi.

“Sebenarnya, banyak juga yang cari Sangatta Post,” sang outlet menghela napas. “Tapi cuman itu,” sambungnya.

“Cuman itu apanya, Kang?,” sergapku dengan rasa antusias yang begitu tinggi.

Sejenak kami berdua sama-sama terdiam. Kini yang terdengar hanya kebisingan kendaraan yang tiada henti-hentinya berseliuran, dan hilir mudik.

“Kata pembeli sih, berita-beritanya bagus aja, tapi korannya tipis, terus harganya mahal. Katanya juga, ya mending baca berita Kaltim Post, biar mahal, tapi beritanya juga banyak. Apalagi koran yang satu itu, cuman dijual Rp 3 ribu, tebalnya ya sama kayak Kaltim Post. Itu sih kata pembelinya,” jelasnya dengan wajah cengigisan.

“Kalau Sangatta Post, banyak berita-berita lokal. Jadi biarpun tipis halamannya, tapi hampir seluruh isinya adalah berita, dan informasi di Sangatta dan Kutai Timur,” tuturku membela, sembari berharap apa yang aku jelaskan bisa dijelaskannya juga jika ada pembeli yang mempertanyakan mengapa Sangatta Post korannya tipis.

Kendatipun, sang outlet terlihat berpikir keras, apa sih maksuda orang nih?. Mau membeli koran, atau mau buka pameran retorika, atau dia ini???, aaaahhhh, sudahlah. Ngak usah dipikirkan panjang-panjang. Apalagi sampai harus kali lebar dan sebagainnya. Hehehe.

“Selain harga, apa sih yang paling suka dibaca orang, Kang,” tanyaku mencoba memperdalam rasa ingin tau. Harap maklumi, sejak bergelut di media Sangatta Post sekitar 3 tahun silam, apalagi sekira sepekan lalu, kantor mengamanatkan saya sebagai koordinator periklanan. Dan baru kali itu saya turun langsung bersentuhan dengan para outlet. Meskipun secara tidak kebetulan, atau tidak disegaja untuk berdiskusi seperti yang sedang saya lakukan ini.

“Kebanyakan sih, yang paling banyak dicari pembaca adalah berita-berita kriminal. Semisalnya kasus pembunuhan, pencabulan, pemerkosaan, pencurian, atau perampokan. Ya, intinya yang berkaitan dengan berita-berita kriminal. Dan biasanya, kalau ada berita kayak itu, yang paling dicari adalah koran Sangatta Post, atau Kaltim Post. Apalagi kalau kejadiannya itu di Sangatta, pasti banyak dicari.

“Selain itu, misalnya ada berita kasus orang dimakan buaya, atau digigit buaya, pasti koran akan hasil terjual. Kalau di tempat saya ini, Kaltim Post biasanya dititip 6 eksampar, koran yang itu 5 eksamplar, dan Sangatta Post 3 eksamplar. Ya, kalau berita biasa, paling banyak yang terjual hanya Kaltim Post, selebihnya hanya satu atau dua eksamplar saja yang terjual,’ jelasnya penuh rasa antusias.

“Oh gitu ya, Kang,” jawab ku dengan nada lirih dan penuh rasa keheranan, tapi di sisi lain saya pun kagum dengan penjelasan sang outlet yang lugas dan terperinci.

“Oke deh, Kang, saya beli Sangatta Post, satu,” sambungku dengan menyodorkan uang Rp 5 ribuan.

Korang telahku beli, kemudian kulipat dan masukan dalam tas. Dengan penuh keterburu-buruan, motor aku naiki dan aku nyalakan, lalu aku geber motor tersebut ke lokasi tujuan.

Sejenak dalam perjalanan tergelayung sejuta pikiran, bahwa betapa ada banyak hal-hal remeh temeh yang selama ini sering dipandang sepela dan kecil, namun jarang terjamah dengan baik oleh para pelaku media massa.

Sebagai seorang jurnalis, saya hanya tau bagaimana mencari dan memproduksi informasi seapik mungkin agar menarik untuk dibaca. Karena pedoman yang selalu menjadi fatwa disetiap kali rapat redaksi, maupun lintas divisi. Kualitas dan mutu pemberitaan sangat menentukan seperti apa koran. Dan ini selalu ditekankan. Mempermak informasi seapik mungkin, sudah jadi keharusan jika ingin koran memiliki pengemar dan pembaca setia.

Namun ternyata, persaingan harga, kualitas percetakan, hingga kesadaran informasi masyarakat yang hanya membuat penilaian dengan hanya tebal dan tipisnya koran, juga ternyata banyak berpengaruh terhadap minat beli seorang masyarakat. Memang tidak ada yang salah dengan itu. Karena masyarakat butuh banyak informasi. Mengingat saat sekarang masyarakat moderen telah disajikan dan dimanjakan dengan informasi online. Sehingga wajar aja, muncul gelak canda yang nyeleneh di kalangan masyarakat. “Kalau sudah ada handphone android, buat apalagi kita membeli dan membaca koran. Sekarang cukup buka internet, berita dan informasi apa saja sudah bisa kita buka dan dapatkan,” demikian yang pernah saya dengar.

Lalu apa yang harus dilakukan pelakon media cetak di tengah gempuran dunia maya saat ini?. Tentunya, optimisme memang masih sangat dibutuhkan. Hanya saja hal tersebut tidak boleh dibiarkan berdiri sendiri. Menata dan melakukan rekayasa managerial sangat dibutuhkan, salah satunya bagaimana menata pangsa pasar yang mulai memudar. Caranya bisa dengan terus melakukan inovasi pada tampilan koran, menyajikan informasi-informasi yang berbasis langsung dengan kebutuhan masyarakat.

Yang tidak kalah penting adalah, ketika kuantitas semakin turun dengan alasan menekan beban anggaran oleh sejumlah media, salah satunya Sangatta Post. Maka berupaya terus mendorong peningkatan kualitas informasi adalah kunci yang tidak boleh dilepaskan media cetak. Dengan demikian, dahaga pembaca terhadap informasi yang aktual, mendalam, sistematis, lengkap, dan penuh analisis tetap dapat terbayarkan. Ini mungkin hanya sedikit metode, dan saya kira masih banyak metode-metode lainnya yang bisa diracik untuk sekedar melawan takdir, sebelum media cetak benar-benar punah oleh jaman dan menjadi artefak dikemudian hari. (*)

Kelakar Politik (2)

58312-chess-projectPukul tujuh tiga puluh pagi, Jihad sudah berada di pelataran kantor DPRD Kota Madu. Tujuannya tidak lain, mencari sejak awal para anggota wakil rakyat yang bisa dijadikan narasumber. Namun hingga pukul delapan tiga puluh menit, Jihad belum satupun menjumpai wakil rakyat yang turun untuk bekerja.

Sementara beberapa nomor anggota wakil rakyat lain yang ada di handphone Jihad, telah dihubungi satu persatu. Senada, mereka mengatakan baru akan masuk kantor sekitar pukul sepuluh nanti. Karena bosan menunggu, Jihad memutuskan ke kantin DPRD. Sekalian untuk ngopi dan mengisi perut yang belum sempat terisi saat berangkat dari kos-kosan.

Tiba di kantin, Jihad mendapati sudah ada beberapa pegawai Sekretariat DPRD, ada juga beberapa diantara mereka adalah para kontraktor. Wajah-wajah mereka sudah tidak asing bagi Jihad. Mereka biasa ditemukan di kantor Dinas Pekerjaan Umum, dengan segala macam kesibukan dan urusan. Karenanya, saat masuk, sekenanya, Jihad melemparkan senyuman kepada orang-orang proyek tersebut.

Usai sarapan dan ngopi, telingga Jihad yang peka, menyerobot riak-riak yang sedang diperbincangkan para orang-orang proyek. Obrolannya mudah ditebak oleh Jihad. Masalah proyek. Menariknya, Jihad seakan menemukan jalan masuk dari apa yang sedang dicarinya. Orang-orang tersebut sedang membicarakan pokok-pokok pikiran dewan.

Salah seorang dari orang-orang proyek itu, tepat berada di bagian sudut kanan meja bercelutuk, pengesahan APBD Kota Madu masih sangat alot. Katannya, antara unsur Pimpinan, Fraksi, hingga Komisi, masih tarik ulur soal angka-angka yang diterima setiap fraksi, serta para anggota wakil rakyat.

Naluri jurnalistik, Jihad, mendadak bergeliat. Jarak Jihad dengan orang-orang tersebut hanya sekitar lima meter. Semaksinal mungkin telinganya dipasang baik-baik. Apalagi pembicaraan orang-orang proyek tersebut semakin serius. Sudah sampai ke arah pembagian anggaran di unsur pimpinan dewan.

Menurut pria berbadan gempal dengan baju kotak-kotak, keterlambatan pengesahan APBD dikarenakan adanya ketidak sepahaman antaran unsur pimpinan. Apalagi, Partai Kuning selaku ketua dewan, hanya berselisih suara dari Partai Biru. Jumlah wakil rakyat di kedua partai tersebut sama-sama delapan orang. Saat pemilihan legislatif sebelumnya, Partai Biru hanya selisih sekitar seribu suara. Dengan demikian, kursi pimpinan atau ketua DPRD yang sebelumnya di tempati Partai Biru terpaksa harus direlakan ke Partai Kuning.

Lelaki berbadan ceking, yang duduk di kursi ketiga, tak kalah sengitnya menyapaikan informasi. Menurut lelaki berkulit sawo matang itu, pengesahan anggaran semakin alot, karena Wakil Ketua II Dewan dari Partai Hijau, adalah istri dari Walikota Kota Madu, ikut ambil bagian dalam masalah itu.

Partai Hijau menurut lelaki ceking itu, juga menginginkan anggaran yang besar untuk mengakomodir pokok-pokok pikiran yang diusulkan konstituen –para pemilih Partai Hijau. Karenanya, kemungkinan APBD baru dapat diketok akhir Desember. Itupun kemungkinan hanya sekedar formalitas, apabila kesepakatan terkait besaran pokok-pokok pikiran dewan, masih terdapat selisih.

Mendadak kehusukan Jihad buyar. Handphone yang ada di depannya berdering. Mendengar nada handphone, mata orang-orang di kantin itu sejenak mengarah ke arah tempat Jihad duduk. Dengan ketergesa-gesaan, Jihad meraih handphone. Di layar handphone tertera nama yang tidak asing. Dengan cakatan lalu Jihad menerima panggilan tersebut.

“Iya, Kang,” kata Jihad masih penuh keterburu-buruan.

“Kamu lagi dimana, Dek?,” tanya pria dalam handphone.

“Saya lagi di kantin DPRD, Kang. Kenapa?, Kang, ada yang harus saya liput kah!,” tanya Jihad.

“Aku mau minta tolong. Kamu segera ke warung Sinta Raya. Di sana ada pak Trisno. Kamu tolong ambilkan berkas kantor sama dia. Sekalian kamu bisa minta nomornya pak Kandar, dia mungkin bisa kamu jadikan narasumber untuk liputanmu,” katanya.

“Oke, Kang. Saya segera ke sana,” kata Jihad lalu menutup telepon. Lelaki yang barusan mengobrol dengan Jihad adalah Kang Mamat.

***

Angin malam yang berhembus begitu terasa malam itu. Roman-romannya akan turun huran. Sekujur langit terlihat mendung. Bahkan di sisi barat Kota Madu, sepertinya telah diguyur hujan. Itu terlihat dari pekatnya awan yang menutupi malam.

Jihad yang sedari tadi nongkrong di warung kopi Mbok Sinah, juga masih belum beranjak. Seduhan kopi khas tanggan tua yang mulai lekat oleh jaman, mungkin jadi alasan Jihad berlama-lamaan di situ. Ditambah obrolan dan candaan hangat Mbok Sinah membuat alumnus Kampus Biru Makassar ini betah mengulur waktu di warung beratapkan terpal biru, yang sebagian diantaranya telah mulai berlubang, karena harus berjuang dengan angin malam yang semakin kencang berhembus.

Rasanya, Jihad masih ingin berlama-lamaan. Namun pukul delapan tiga puluh nanti, dirinya telah berjanji untuk bertemu dengan pak Kandar. Saat menghubungi lelaki paruh baya tersebut siang tadi, Jihad diminta ke rumahnya di Jalan Angkringan, jika ingin bertemu, atau bercerita, juga sekaligus wawancara.

Beranjak dari tempat duduk, Jihad menarik uang dua puluh ribu di saku kanan. “Mbok, sisannya simpan aja. Sekalian buat saya ngopi besok,” kata Jihad beranjak keluar dari warung. Mbok Sinah menjawabnya dengan anggukan kepala, sebagai tanda dia mengiyakan.

Tiba di rumah pak Kandar, Jihad langsung dipersilahkan duduk di ruang tamu. Sementara pak Kandar terlihat masih sibuk mencoret sejumlah berkas. Ada yang tebal. Ada juga yang tipis. Beberapa diantaranya dibubuhi tanda tangan.

“Ndut, tolong sediakan kopi dua!. Bawakan ke ruang tamu,” suara pak Kandar meminta pembantunya menyediakan kopi.

“Ngak usah repot-repot pak,” sambar Jihad, karena merasa sungkan dan tidak ingin merepotkan tuan rumah.

“Ahhhh, ngak apa-apa, barang hanya kopi aja kok repot,” ujar pak Kandar lembut. Perlahan tapi pasti, pak Kandar berjalan ke arah Jihad dan langsung duduk di kursi.

“Gimana kabar nih, Adinda??,” sapa pak Kandar melanjutkan.

“Alhamdulillah, baik pak,” ucap Jihad sembari melemparkan senyuman.

Sejenak keduannya terdiam. Bagi Jihad, pak Kandar bukanlah orang asing, layaknya para wakil rakyat lain di legislatif Kota Madu. Sebelumnya, Jihad pernah bekerja kepada pak Kandar, meskipun tidak secara langsung sekitar dua tahun lalu di sebuah lembaga sosial kemasyarakatan.

“Apa yang perlu diberitakan nih?,” tanya pak Kandar yang sudah bisa menerka tujuan kedatangan Jihad.

Yang ditanya nyegir-nyegir. Karena merasa tanpa dia menjelaskan, tuan rumah sudah memahami maksudnya, meskipun pokok pembicaraan masih ada dalam kepala Jihad.

“Bapak kan sebagai anggota DPRD dan juga anggota Badan Anggaran. Nah, tujuan kedatangan saya kali ini, saya ingin berbincang-bincang soal pokok-pokok anggaran dewan,” tutur Jihad.

“Wahhh, sepertinya serius nih yang akan dibicarakan,” sambut pak Kandar. Keduannya kemudian sejenak sama-sama tertawa, walaupun Jihad sedikit memaksakan tawanya dan senyum pahit serta tawar di bibir.

Setelah itu, Jihad menjelaskan tujuannya. Dengan bahasa yang apik, bahkan berapi-api, namun tetap berwibawa. Jihad menyampaikan semua isi kepalanya yang telah disusun rapi. Termaksud informasi yang di dengar dari orang-orang proyek pagi tadi di kantin DPRD.

Pak Kandar terlihat kagum manakala mendengarkan penjelasan dan maksud pembicaraan Jihad. Sebagai lulusan jurusan Sastra, Jihad memang tidak perlu diragukan dalam beretorika, atau menyampaikan maksud pembicaraan. Apalagi, ketika masih bergelut di bangku universitas, Jihad dikenal sebagai seorang aktivis yang getol menyuaran suara masyarakat kecil. Mentalnya menghadapi orang gedongan, atau pejabat dan sebagainya, sudah bukan menjadi sesuatu yang baru baginya.

“Ohhh gitu tujuan, Adinda, datang ke sini,” ucap pak Kandar.

Jihad hanya menganggukan kepala sebagai pertanya dirinya mengiyakan pertanyaan tuan rumah.

“Bagaimana ya, sebenarnya saya ngak bisa mengungkapkan atau membeberkan masalah itu. Karena sifatnya internal legislatif. Kalau membuka itu, sama halnya dengan saya membuka aib saya sendiri, serta teman-teman yang lainnya di legislatif,” tutur pak Kandar.

Badan pak Kandar yang dari tadi tegang, kemudian merunduk ke belakang, bersandar di kursi. Melihat itu, senyum Jihad terasa pahit. Sepahit pemikirannya yang mulai pupus, karena mendengarkan jawaban demikian dari pak Kandar.

Suasana yang kaku, kemudian sedikit mencair setelah keduanya sama-sama menengak kopi yang telah tersedia di meja.

“Gini aja, aku mau berbagi informasi, tapi ya cukup untuk kamu konsumsi sendiri. Jikapun nantinya kamu jadikan berita, namaku, ya ngak usah ditulis,” tawar politisi yang kini berkecimpung di Partai Biru tersebut.

Ketika obrolan kedua lelaki ini dimulai, jarum jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Kepada Jihad, pak Kandar bercerita tentang kemelut, tarik menarik kepentingan antara tiga partai yang duduk diunsur pimpinan dewan.

Dalam obrolan itu, terungkap satu fakta yang cukup mencengangkan bagi Jihad. Bahwa keterlambatan pengesahan APBD Kota Madu, seperti yang disangkakan dirinya, memang dikarenakan Partai Biru, tidak terima lantaran anggaran yang jadi pokok-pokok pikiran fraksi, hanya kebagian sekitar sepuluh miliar, dari yang diusulkan dan kesepakatan awal sekitar lima puluh miliar.

Sementara Partai Kuning, selaku ketua DPRD, yang juga mendapatkan dukungan dari Wakil Walikota selaku kader Partai Kuning, mendapatkan pokok-pokok pikiran hingga seratus lebih miliar. Itu di luar pokok-pokok pikiran yang didapatkan ketua fraksi, ketua komisi, dan anggota legislatif dari Partai Kuning.

Sementara Partai Hijau, menurut informasi diperoleh pak Kandar dari anggota Badan Anggaran –penyusunan anggaran banyak disembunyikan-, kebagian lima puluh miliar. Padahal dari struktur unsur pimpinan, Partai Hijau adalah Wakil Ketua II. Menurut pergunjingan yang tersiar, besarnya pokok-pokok pikiran yang diterima Partai Hijau, tak lepas dari sokongan dan dukungan orang nomor satu di Kota Madu.

Sementara besarnya anggaran Partai Kuning, sebagai komitmen politik yang telah diteken sebelum Pilkada Kota Madu digelar setahun lalu. Yang membuat Jihad terheran-heran, karena anggaran yang diterima Partai Kuning, itu di luar anggaran yang diterima oleh Wakil Walikota –ada anggaran yang dititipkan lewat legislatif.

“Anggaran itu, nanti akan dibagi-bagi ke beberapa Dinas dan Badan. Biasanya dipilah menjadi paketan proyek PL (pemilihan langsung), dengan nilai dua ratus juta,” ungkap pak Kandar.

Wajah Jihad terlihat seakan tak percaya. Namun dia menyimak setiap pembicaraan pak Kandar dengan baik, sambil menggelengkan kepala. Tak lupa, sebagai data berita, diam-diam Jihad telah mengaktifkan rekaman di ponselnya.

“Sudah kayak anggaran milik pribadi saja ya, pak, kok sampai dibagi-bagi seperti itu. Luar biasa juga ternyata tarik menarik kepentingan di legislatif,” tutur Jihad dengan nada terheran-heran.

Lantaran sudah larut malam, dan jarum jam menunjukan pukul tiga malam, obrolan Jihad dan pak Kandar malam itu berakhir dengan wajah Jihad yang penuh keterheranan. Namun sebelum Jihad pamit pulang, pak Kandar mengajaknya untuk melanjutkan perbincangan di lain waktu. Dengan anggukan, Jihad mengiyakan. Dalam hati, Jihad sudah inggin menyodorkan keingginan tersebut. Namun terlebih dahulu keluar dari pak Kandar.

Dalam perjalan kembali ke kos-kosan, Jihad menyimpa sejuta keterheranan. Bisik-bisik dari kebanyakan pejabat selama ini, ternyata bukan hanya isapan jempol. Dalam hati, Jihad mengerutuk. “Ya, namanya saja politik. Penuh kepentingan dan intrik. Ibarat belut, semakin dipegang, ya semakin licin,”.

Kelakar Politik (1)

images (1)Jarum jam menunjukan pukul enam sore. Sebentar lagi suara azan berkumandang. Seperti layaknya jurnalis lainnya, Jihad, masih disibukan dengan sejumlah ketikan berita. Dan sejak duduk di meja kerjanya pukul lima sore, Jihad baru menyelesaikan dua berita.

Memandang jam dinding, Jihad mendadak kalut. Kini deadline tersisa tiga puluh menit. –Jihad bertugas mengisi berita kloter satu. Dengan penuh ketergesa-gesaan, Jihad memfokuskan pikiran ke layar monitor. Sejurus, jari jemarinya dengan cekatan menghentak papan keyboard. Dia menyusun kata perkata hasil wawancarannya siang tadi menjadi sebuah kalimat, paragraf dan berita.

Bila tidak menyetor tiga berita, maka, sumpah serapah, omelan hingga cibiran, akan meluncur deras dari bibir sang Redaktur Pelaksana (redpel). Apalagi pukul delapan malam nanti, seperti biasannya, akan ada rapat redaksi yang dilanjutkan dengan rapat perencanaan liputan. Tulisan yang dinilai semrawut, apalagi ada jurnalis yang tidak menyetor tiga berita, ya bakal jadi sasaran omelan selama rapat berlangsung.

Menurut redaktur, khususnya redpel, sikap yang mereka ambil demi menempa mental dan semangat kerja para jurnalis, dengan harapan supaya para jurnalis lebih tekun lagi menyajikan berita-berita menarik, apik, cetar membahana dan memiliki kualitas bagi para pembaca. Ada juga yang bilang, kalau redpel marah-marah pada para jurnalisnya, itu tandanya dia peduli…hehehehe,. Entahlah. Bagi Jihad, dicecar, atau apapun itu, sedikit tidak sejalan dengan visinya yang tidak banyak mengoceh.

Jarum jam serasa cepat, ketika Jihad berburu ketikan. Jihad sedikit beruntung, karena berita yang dia ketik hanya berita ringan, soal rencana pembangunan jalan pendekat pelabuhan Kota Madu.

“Jihad, sudah selesai kah ketikan mu,” teriak redpel dari balik meja kerjanya yang berjarak sekitar lima meter dari tempat Jihad duduk mengetik.

“Sebentar lagi, Kang. Saya cek dulu ketikannya, takut ada kata-kata yang salah. Setelah itu saya langsung masukan folder berita,” sahut Jihad dengan wajah sedikit mendoga ke atas, lantaran meja kerjanya dibuat sekat seperti bilik kecil.

“Oke, cepat!!….Ini sudah jam berapa?. Kalau ngak, berita mu aku tinggal nanti,” kembali redpel berteriak dari meja kerjannya.

***

Usai solat berjamaah bersama redpel, redaktur, dan jurnalis lainnya, kini waktunya Jihad untuk melaksanakan rapat redaksi dan rapat perencanaan. Dalam rapat perencanaan, masing-masing jurnalis mengajukan rencana liputan. Ada yang mengajukan melanjutkan berita yang akan terbit pagi besok. Ada pula yang mengajukan rencana liputan baru.

Nah, Jihad masih duduk termenung. Pikirannya kosong. Binggung. Limbung. “Jihad, tinggal kamu yang belum menggajukan perencanaan liputan,” kata Kang Mamat, redaktur yang menaungi Jihad.

“Sebentar, Kang. Saya belum punya ide yang bagus nih, mau liput apa besok,” sahut Jihad tersadar dari lamunannya.

Sejenak ruang rapat hening. Ada yang berbincang, namun suaranya hanya pelan. Sementara redaktur lainnya sibuk memberikan arahan kepada para jurnalis yang mereka naungi.

“Gimana, Jihad. Sudah ada ide liputan kah?,” kembali Kang Mamat melontarkan pertanyaan, kali ini suarannya sedikit lebih tegas.

“Atau aku yang memberikan penugasan,” sambung Kang Mamat, kembali memberikan tekanan pada nada suaranya.

Jidah mulai dirundung keresahan. Pikirannya kian berkecamuk. Mengawang tidak jelas arahnya kemana.

Setiap tugas yang diberikan redaktur, apalagi jika datangnya dari redpel, maka apapun carannya, jurnalis yang ditugaskan wajib mendapatkannya. Jika gagal, maka akan ada sanksi yang diberikan. Macam-macam. Ada sanksi dari sekedar harus mentraktir makan anak-anak redaksi, hingga yang terberat yakni pemberian surat peringatan satu (SP1). Yang terakhir ini bisa sampai pemotongan gaji. Dengan catatan, alasan yang diberikan jurnalis dinilai tidak logis, tidak meyakinkan.

“Haaannuhh,..Saya…. liput berita penyusunan APBD Kota Madu yang sampai sekarang belum juga diparipurnakan, Kang. Padahal ini sudah mau pergantian tahun,” kata Jihad dengan nada suara yang sedikit terbatah-batah.

“Oke, apa isu yang menarik dari itu?. Kalau hanya sebatas penyusunan APBD, ngak usah. Kamu cari angel yang menarik, terserah kamu apa itu!. Asal tidak seperti berita-berita yang sudah pernah terbit,” seru Kang Mamat.

“Itu isu utama yang harus kamu gali. Untuk berita yang lainnya, kamu tentukan sendiri,” tambahnya.

Setelah semua jurnalis memiliki perencanaan liputan, rapat pun kemudian diakhiri. Beberapa jurnalis memilih pulang. Namun ada juga yang bertahan di kantor, barang sekedar menikmati wifi atau internet gratis dari kantor, atau melihat-lihat anak-anak layout yang sedang berkreasi menyusun halaman pemberitaan.

Sementara Jihad, kembali ke meja kerjanya. Duduk termenung, memikirkan angel berita APBD yang akan digarapnya besok. Setelah terduduk beberapa saat di kursi kerjanya. Pikiran Jihad kemudian terarah ke layar monitor.

“Ahhh, kenapa ngak browsing di internet aja. Aku cari aja perbandingan berita-berita yang sudah pernah diterbitkan,” guman Jihad dalam hati.

Setelah mendapatkan beberapa berita terkait di media online, lalu membaca dan membandingkannya, pemikiran Jihad lantas menjurus pada satu gagasan. ‘Pokok pikiran anggota dewan’. Jihad sedikit berspekulasi, mungkinkah molornya APBD Kota Madu dikarenakan ini, atau ada intrik lain.

Nah, dengan penuh ketergesa-gesaan, Jihad merangsak berdiri dan berjalan sedikit berlarian menuju meja Kang Mamat. “Kang, untuk liputan tadi, saya punya usulan nih,” katanya.

“Apa itu?,” tanya Kang Mamat. Wajahnya masih serius menghadap ke layar monitor. Jari jemarinnya terus bergeliat di papan keyboard.

“Selama ini berita yang sudah diangkat hanya soal penyusunan APBD, atau target pendapatan dan belanja anggaran. Sementara untuk pokok pikiran dewan, kayaknya belum pernah diangkat secara spesifik. Misalnya, seperti apa itu pokok pikiran dewan, bagaimana dialokasikan, dan berapa misalnya anggaran untuk mengakomodir itu. Yang jadi poin penekanannya, apakah ada intrik di balik molornya penyusunan APBD tahun ini,” jelas Jihad dengan wajah penuh keyakinan.

“Oke, boleh, tapi kamu harus punya narasumber langsung dari para anggota DPRD Kota Madu, lohhh. Upayakan ada wawancara ekslusifnya. Tapi tantangannya, sangat jarang ada wakil rakyat yang mau blak-blakan soal masalah itu,” sejenak tutur Kang Mamat terhenti, lantaran terbatuk.

“Maklum, masalah yang demikian itu, biasanya sedikit sensitif. Tapi ide mu itu cukup menarik. Aku beri kamu waktu sepekan ini untuk menggali informasinya. Wajib dapat ya!!,” sambugnya.

Untuk memberikan semangat kepada Jihad, Kang Mamat menjanjikan, bila Jihad berhasil menyelesaikan liputannya, maka akan diusulkan dijadikan berita open di halaman satu SaKa Post.

Mendengar itu, semangat Jihad kian berapi-api untuk menggali informasinya. Malam itu, semua sumber yang memungkinan untuk dimintai informasi di data satu persatu, berikut dengan daftar pertanyaan kunci yang akan disampaikan nantinya. (bersambung)

LGBT, Wajah Baru Radikalisme

karikatur-22-februari-2016Belum usai rasanya fenomena kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) menjadi perbincangan publik. Kini kelompok organisasi lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kembali muncul. Bahkan dalam dua pekan terakhir, kelompok ini menjadi perbincangan hangat dan menarik di sejumlah media massa, khususnya di sosial media.

Dalam pembelaannya di sejumlah media, kelompok ini mengatakan, jika kehadirannya adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Menurutnya juga, keberadaan LGBT adalah satu hal yang wajar, dihampir semua negara seperti di negara Eropa megizinkan keberadaan kelompok in. Atau semisalnya di negara benua Asia tepatnya di Thailan, keberadaan kelompok ini dinilai sah-sah saja. Nah, ketika itu hadir di Indonesia, mereka anggap sebagai satu hal wajar pula.

Keberadaan LGBT ini bukan hanya lagi merambah kalangan remaja atau usia dewasa. Dalam perbincangan di salah satu televisi nasional, salah seorang anggota kelompok LGBT mengungkapkan, jika keberadaan organisasi itu bahkan telah masuk hingga ke lingkungan anak SD, SMP dan SMA. Bahkan, penyebaran mereka dapat dikatakan sudah mulai merambah kesejumlah daerah di Indonesia.

Lantas benarkah keberadaan mereka ini hadir atas nama HAM ?. Kemudian HAM itu sebenarnya apa ?. Dalam perspektif sosiologi, HAM adalah paham yang menyatakan bahwa seseorang individu atau kelompok memiliki hak untuk menyatakan kebebasan memilih, menentukan sikap dan pemikiran dalam bermasyarakat. Hanya saja, dibeberapa buku dan kajian sosial, HAM ini memiliki batas-batas tersendiri. Misalnya, HAM seseorang tidaklah boleh sampai menabrak HAM orang lain.

Namun dalam sudut pandang paham Radikalisme (paham yang mengingginkan perubahan total, drastis dan mendasar), HAM dapat dilakukan seseorang tanpa ada batas. Sebelum adanya perubahan yang ditujukan, paham ini menganjurkan kelompoknya untuk menjamah semua lini kehidupan masyarakat.

Paham ini juga mengizinkan dan menghendaki dibentuknya nilai-nilai sosial yang baru sesuai kebutuhan kelompok dan individu. Bila kita meliirik dan mencoba menjamah nilai-nilai yang ditawarkan LGBT, dapat ditarik bahwa ada kesamaan dasar epistemologi dan ideologi yang coba mereka berikan. Apa indikasinya ?. Dalam sudut pandang penulis, pertama, kelompok LGBT mempersilahkan seluruh anggota menentukan kemerdekaan hidupnya berdasarkan buah pikirannya. Contohnya, menikah sesama jenis dipersilahkan sepanjang individu itu mengingginkannya.

Kedua, kelompok ini menghendaki adanya satu masyarakat baru, kalau penulis menyebutnya dengan istilah paham Khasim. Seperti dijelaskan K.H.Muhammad Husein seorang mantan anggota Komisioner Komnas Perempuan tahun 2009 – 2014, bahwa kelompok Khasim ini adalah para pecinta sesama jenis yang sengaja dipelihara dan dibentuk kelompok-kelompok yang menentang Nabi Luth kala itu.

Nah, keberadaan LGBT ini juga kurang lebih layaknya masyatakat Khasim di jaman Nabi Luth. Sebagaimana diketahui, dikarenakan dianggap menyimpang dan bertentangan dengan fitrah kemanusian, masyarakat Khasim ini lantas dibinasan dengan kuasa Allah. Mereka ditimpakan dengan tanah yang berbalik. Sebelum dibinasakan, Nabi Luth sempat meminta mereka untuk insaf, namun malah ditolak. Kemudian mereka diporak-porandakan dan ditenggalamkan dalam perut bumi.

Dari sudut pandang ini, nama HAM yang dibawa kelompok LGBT ini dapat diartikan sebagai sebuah kedok baru penjajahan moralitas anak bangsa. Dalam beberapa buku sosial yang pernah dibaca penulis, kedok baru yang dimaksudkan adalah sebuah imperialisme ideologi. Nah, pada paham yang satu ini, sebuah penjajahan tidak lagi dipandang dalam wujud fisik, misalnya perang dengan senjata. Akan tetapi sudah dipandang dalam penjajahan pengetahuan, teknologi dan mentalitas.

Kehadiran LGBT jika harus dikaji secara mendalam dapat dilihat sebagai satu wajah radikalisme dan imperealisme ideologi itu sendiri. Sekali lagi, lewat paham LGBT, sendi-sendiri pemikiran generasi mudah coba dihancurkan, termaksud watak dan mentalitasnya. Bukti atas hal ini adalah mulai hilangnya orientasi nasionalisme dan nilai-nilai religius. Contohnya, prilaku seks bebas dan penyalahgunaan narkoba dikalangan kaum remaja. Tatanan masyarakat yang akan dibentuk adalah melahirkan generasi bangsa yang tanpa orientasi. Akhirnya, masyarakat tersebut melihat segala sesuatu hanya dalam perspektif paham materialisme (Yang hakiki adalah dunia).

Lalu bagaimana Islam menyikapi fenomena ini ?. Berdasarkan kajian keislaman, seperti yang disampaikan penulis di atas, bahwa masalah seperti LGBT itu sebenarnya sudah jauh-jauh dikisahkan dalam sejarah Nabi Luth. Dalam Alquar surat Asy Syu’araa ayat 165 dan 166 dikatakan yang artinya “Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”.

Kemudian dikatakan pada surat An Naml ayat 55, Al-A’raaf dan Al-Ankabut ayat 30-31 yang artinya, “Dia (Luth) berdoa, “Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas golongan yang berbuat kerusakan itu”. Dan ketika utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengatakan, “Sungguh, Kami akan membinasakan penduduk kota (Sodom) ini karena penduduknya sungguh orang-orang zalim.”

Dengan penjelasan tersebut, jelas dan tegas disampaikan bahwa sikap hidup yang sedang dikembangkan LGBT dan semacamnya, tak lebih dari sebuah pendustaan agama. Sebab, secara fitrah manusia, tuhan telah menciptakan segala sesuatunya seadil-adilnya, serta berdasarkan ukurannya masing-masing. Fitrah manusia dalam islam, bahwa seorang adam adalah pasangannya kaum hawam, begitupun sebaliknya. Selain ulama yang dituntut berperan aktif menyampaikan nilai-nilai keimanan di masyarakat, sikap tegas dari pemerintah juga diperlukan untuk melarang keberadaan paham LGBT ini.

Menurut penulis, apa yang dimaknai kelompok LGBT sebagai kebebasan tak lebih adalah pemahaman terhadap HAM yang kebablasan. HAM juga tidak harus dipahami menjadi alat kebebasan individu dan kelompok untuk menumpulkan intelektual generasi bangsa. Di sisi lainnya, keberadaan kelompok LGBT ini, harus ditelisik sebagai satu akar penjajahan baru di era dewasa ini. Menginggat masa depan sebuah bangsa, negara dan agama berada di tanggan generasi mudanya, maka menjaga mereka dari pelbagai paham menyimpang tentunya sebuah keharusan. Dan paling utama, yakni peran dan kesadaran masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh, merupakan kunci untuk mencegah menyebarluasnya paham-paham menyimpang. (*)

Tak Sampai

images (3) Sore itu langit terlihat mendung. Angin sepoi yang berhembus dari kaki gunung menjadi terasa dingin menyerobot masuk hingga ke tulang sumsum. Namun hal itu tidak dihiraukan Lintang. Seiring pikirannya yang tak menentu. Terlihat dari raut wajahnya yang gelisah.

Angin yang semakin dingin seakan sedang mengantar mentari sore. Berubah menjadi temaram lalu digantikan buta senja yang semakin gelap.

Di bawah pintu gerbang masjid Al Khair, Lintang tetap lekat dengan keresahannya. Baginya, tidak ada sore yang perih, seperih langit mendung yang menaunginya.

Apa daya, waktu telah berlalu. Kuasa tuhan tak mungkin diingkari. Apalagi harus dipersalahkan.

Mimpi indah menjalin asmara bersama wanita berparas ayu, kini pupus. Bagi Lintang, yang demikian masih bisa ditepis. Namun keinginan mempersunting seorang hafiz, harus dibayar mahal hanya karena waktu yang tidak tepat.

“Ohhh tuhan, apakah memang dia bukanlah jodohku??,” gumam Lintang.

Dari belakang, Lintang merasa ada seseorang memegang pundaknya. Kuat. Namun terasa memberikan semangat. Seakan tau apa yang sedang dirisaukan. 

“Eh, kamu Alam,”.

“Kukira siapa?,”.

“Iya, ini aku. Kenapa?. Masih memikirkan masalah itu?,”.

“Ahh, ngak juga,”.

“Sudah lah, kamu ngak usah menyembunyikankan perasaan. Aku tau apa yang sedang kau rasakan,”.

“Sejujurnya, aku minta maaf kawan,” kata Alam, mencoba mencairkan suasana.

“Kamu ngak perlu minta maaf. Ini bukan salahmu. Ya, mungkin memang sudah begini takdir dari yang kuasa,” kata Lintang menguatkan perasaan.

“Aku merasa tidak enak padamu, Ling. Karena keteledoranku, hubungan yang seharusnya terjalin, kini malah sudah tidak jelas pangkalnya,”.

Dalam urusan ini, Alam sadar dengan perasaan yang sedang berkecamuk dalam batin Lintang. Alam merasa, seandainya sebulan yang lalu, dia langsung menyampaikan amanat wanita di seberang desa, mungkin tidak akan serumit ini.

***

Sepucuk undangan, warnanya merah jambu. Undangan yang terletak di atas meja itu di pandang lekat oleh Lintang. Kopi yang bersebelahan dengan undangan terasa berat diangkat. Ketika diseduh pagi itu terasa hambar. Tidak seenak yang sudah-sudah. Padahal kopi hitam racikan khas tangan tua si Ibu adalah kopi terbaik yang selalu diidamkan Lintang. Khususnya kala masih menempa ilmu di Universitas Mulawarman Samarinda.

Bagaimana tidak, undangan tersebut menyangkut mimpi besar yang kini berserakan dan tidak mungkin di susun kembali seperti pazel. Batin dan perasaan Lintang benar-benar keluh. Tiada rasa. Hambar. Layaknya menyeduh kopi tanpa gula. Hanya pahit yang terasa.

“Oh, Tuhan!!!. Mengapa engkau lukis kisah asmaraku seperti ini. Engkau yang membuka tirai perasaan. Namun engkau juga yang menghalangi,”.

“Jika sejak awal dia yang terkasih bukanlah jodohku. Lalu mengapa engkau torehkan pena perasaan,” batin Lintang. Kali ini air matanya tanpa disadari membasahi pipi.

Duduk di teras rumah, Lintang menyendiri. Kicauan burung yang bersahutan di atas pohon Mangga depan rumah, mengisyaratkan bersenandung dengan perasaannya yang risau.

Mendadak ingatan Lintang melayang menelusuri pristiwa sebulan lalu. Pada Jumat sore itu, Lintang memberanikan diri menyampaikan ikhwal rasa sukanya kepada anak gadis pak Iswan. Gadis sebaya memanggil dengan nama Indah.

Nama yang selaras dengan orangnya. Indah Purnamasari, begitu nama lengkapnya. Wanita berkerudung tersebut adalah lulusan jurusan Agama di Kota Seribu Masjid. Memiliki mata yang bulat hitam menambah pesona kecantikannya. Tak ayal banyak pemuda desa menaruh perasaan.

Tak terkecuali Lintang. Bagi pemuda lulusan Jurusan Ilmu Politik di kampus plat merah terbesar di Kalimantan Timur ini, sosok Indah bukanlah orang asik. Indah adalah teman sepermainan di masa kecil. Namun sejak menginjak bangku SMP, keduanya sudah jarang bertemu.

Indah melanjutkan SMP hingga perguruan tingga di Kota Seribu Masjid. Sementara Lintang mengenyam pendidikan di Universitas Mulawarman Samarinda. Masuk perguruan tinggi di Kota Tambang Batu Bara tersebut adalah kali pertama Lintang merantau.

Ketika bertemu kembali dengan Indah selepas kuliah, Lintang dibuat terpesona dengan perubahan Indah. Kalem dan santun. Sosok keperempuanan dan keibuannya begitu menyentak perasaan Lintang.

Seiring dengan itu, Lintang membangun komunikasi dengan Indah. Yang jadi perantara mereka adalah Alam. Lintang memiliki alasan kuat menggunakan jasa sahabatnya tersebut. Alam adalah sepupuh Indah.

“Alam, sahabatmu ini ingin meminta bantuan kepada dirimu,” seloroh Lintang memulai pembicaraan sore itu.

“Bantuan apa, Ling?,” tanya Alam.

Tanpa basa basih. Lintang mengutarakan perasaannya. Alam yang mendengar itu hanya cengar cengir. Sebab, baru kali itulah Lintang jujur tentang perasaannya.

“Baik, nanti aku coba sampaikan amanatmu. Cuman aku tidak berani menjanjikan kalau perasaanmu mendapatkan jawaban selayak yang engkau inginkan,” kata Alam.

“Iya, aku tau. Aku berharap, sebagai sepupunya, tentu kamu adalah orang yang paling tepat yang bisa menyampaikan,”.

“Apapun jawaban dia nantinya. Aku siap menerimanya. Karena aku pun tau, bahwa memang urusan perasaan tidak bisa dipaksakan. Namun tidak ada salahnya aku mencoba menyampaikan niat baik,”.

“Jika sudah kau sampaikan niatku ke Indah. Tolong langsung beritahu aku,” pinta Lintang.

“Oke,” jawab Alam.

Lintang yang sedari tadi terbuwai lamunan, mendadak terjaga setelah mendengar suara si Ibu memintanya mengambil cangkul di dalam rumah.

***

Dengan langkah berat Lintang mengayunkan kaki. Celana kain hitam dengan setelan baju kemeja kotak-kotak, penampilan Lintang terlihat penuh karismatik. Namun sayang, hal itu tidak selaras dengan perasaanya.

Menaiki motor Legenda hitam milik Abah. Lintang hendak menghadiri undangan pertunangan, Indah. Sepekan lalu, Indah telah resmi dilamar oleh seorang lelaki.

Bagi Lintang, memang tidak ada yang salah dengan itu. Dirinya paham urusan jodoh adalah bagian dari kehendak tuhan. Manusia sebatas merencanakan dan mengusahakan. Bagaimana garis kodrat hanya tuhan yang tau.

Tapi satu hal yang pasti bagi Lintang. Karena keteledoran Alam, harapanya memiliki Indah sirna. Ya, sebelum dilamar lelaki lain, Indah ternyata sempat mengutarakan jawabanya atas pesan Lintang.

Indah pun menyimpan rasa kagum pada Lintang. Memang, jika dibandingkan pemuda lainnya di kampung itu, Lintang tergolong cukup tampan.

Tapi itu tinggal sebatas saling mengagumi. Semua itu bermula ketika Alam sebagai penghubung garis perasaan, mendadak ke luar daerah. Kepergian Alam bukan satu atau dua hari. Melainkan hampir sebulan lamanya.

Dalam kepergiannya, Alam membawa amanat besar. Jawaban yang seandainya langsung disampaikan, tidak akan membuat Lintang segusar ini.

Kepada Alam, Indah mengiyakan niat baik Lintang. Bahkan meminta Lintang segera menyampaikan niat baiknya tersebut kepada kedua orang tua Indah.

Kepergian Alam membuat kedua insan manusia ini dibuat menunggu. Sepekan berlalu. Dua pekan juga berlalu, hingga saat datang niat baik lelaki lain meminang Indah.

Lantaran tidak mendapatkan jawaban, apalagi kunjungan dari kedua orang tua Lintang. Membuat Indah yang sudah terdesak dengan perjodohan, memilih menuruti rencana orang tuanya.

“Jika memang ini sudah jadi garis hidup, kuatkan hamba, Tuhan!. Biarkan diri ini ikhlas. Semoga dia yang tercinta dapat bahagia bersama pilihannya,” pinta Lintang sembari mengaminkan doa seorang ustaz yang memimpin prosesi pertunangan Indah. (*)